Monday, February 11, 2008
Kristenisasi pada abad ke-19 di Jawa oleh orang pribumi
Kristenisasi pada abad ke-19 di Jawa oleh orang pribumi.
Kiai Sadrach
L'affaire Sadrach, Un Esai de Christianisation a Java au XIXe Siecle; C. Guillot; Association Archipel, Paris.
Posted by Iman Brotoseno
20 January 2008
Ketika membongkar dan merapikan koleksi buku-buku di lemari "perpustakaan", saya membaca ulang buku "Kiai Sadrach".
Buku yang diterbitkan tahun 1985 ini terjemahan dari L'affaire Sadrach, Un Esai de Christianisation a Java au XIXe Siecle dari C. Guillot (Association Archipel, Paris).
Buku ini menjadi penting karena menceritakan sejarah agama Kristen di Jawa (bukan Katolik).
Kiai Sadrach memang dianggap sebagai pendiri Gereja Kristen Jawi.
Dilahirkan dari keluarga Islam Jawa.
Raddin Abbas - dengan namanya sebelum dibaptis - telah belajar di dua pesantren, sebelum akhirnya berkenalan dengan Kiai Tunggul Wulung, asal lereng gunung Muria yang telah berpindah Kristen.
Sang Kiai ini yang selanjutnya membawa Raddin Abbas ke Batavia dan memperkenalkan dengan komunitas Kristen Belanda.
Ada yang menarik bahwa keberhasilan Kristenisasi pada abad 19 di Jawa adalah hasil aktivitas orang-orang pribumi sendiri.
Terlepas dari aktivitas misionaris Eropa.
Pada tahun 1889 jemaahnya disekitar Kedu sudah mencapai hampir 3000, sementara petugas zending yang bekerja lebih lama hanya mempunyai pengikut puluhan saja.
Bahkan dalam perkembangannya Sadrach bersimpangan dengan pihak zending.
Belanda memang berbeda dalam pandangannya tentang penyebaran agama Kristen.
Jika kolonialisme Spanyol dan Portugis memandang sebagai bagian dari pewartaan Kerajaan Allah di seluruh muka bumi.
Tak heran seluruh negara-negara jajahan mereka beragama Katolik, seperti Philipina dan negara-negara Amerika Latin / Tengah.
Maka kolonialisme Belanda justru setengah hati menyebarkan agama mereka, dengan ketakutan akan muncul rasa kesamaan antara penduduk asli dengan golongan pendatang dari Eropa.
Sehingga pada akhirnya ada 2 golongan, yakni Kristen Jawa dan Kristen Londo.
Buku ini semakin menarik untuk diikuti karena selanjutnya menampilkan permasalahan perbenturan dua budaya.
Jawa dan Eropa.
Serta menampilkan sinkretisme dalam kebudayaan Jawa.
Sadrach dengan jitu berkelana ke pelosok Jawa menyebarkan ajaran baru yang diramu dengan pendekatan lokal.
Selain tetap memakai panggilan Kiai, Sadrach juga mempraktekan apa yang pernah dilakukan para Wali Sanga menaklukan masyarakat Hindu.
Persis ketika Sunan Ngampel sering melakukan "duel" mengadu ilmu dengan pemuka Hindu Majapahit.
Cara Sadrach menyebarkan agama Kristen dengan berkelana kemana-mana, menemui guru-guru terkemuka di daerah itu serta berusaha meyakinkan mereka akan kepercayaan Kristen.
Jika tidak berhasil maka dilakukan tantangan perang tanding di depan umum, untuk mengetahui siapa yang lebih hebat ilmunya.
Kadang-kadang perdebatan itu bersifat dramatis, dengan murid-muridnya duduk di belakangnya.
Sebelum dimulai ditetapkan aturan permainannya.
Sadrach berjanji untuk kembali ke Islam andai ia kalah.
Jika menang, ia menuntut lawannya tunduk padanya dan masuk Kristen.
Ini menjadi tidak penting mengenai hakekat inti ajaran masing-masing agama.
Karena Sadrach yang memiliki ngelmu Jawa, pernah belajar di pesantren dan juga ia telah menerima "ilmu baru" yakni Kristen.
Ditambah ia juga tidak bodoh.
Sedikitpun ia tak pernah takut.
Begitu kalah sang lawan mengucapkan pengakuan takluk.
"Kulo meguru" (saya berguru).
Para murid-murid kiai, bersama gurunya menjadi pengikut sang pemenang.
Demikianlah cara Sadrach mengkristenkan beberapa kiai dalam tempo beberapa tahun.
Saya menduga disamping Kiai Sadrach memiliki ketrampilan "ilmu presentasi dan komunikasi massa", ia hanya melakukan penetrasi di wilayah-wilayah yang kadar keislamannya masih relatif rendah, yang masih bercampur dengan budaya animisme dan Hindu.
Tak heran, salah satu kunci keberhasilan mereka adalah menggabungkan ajaran-ajaran Kristen dengan budaya Jawa seperti Yesus Kristus yang diasosiasikan dengan Ratu Adil.
Ia juga tetap mempertahankan tradisi Kejawen dalam masyarakat dengan memasukan doa-doa Kristen.
Dari buku ini kita bisa mempelajari sejarah perkembangan agama-agama di Nusantara serta mengambil makna keragaman budaya dan agama.
Penelitian atas kasus Sadrach menjelaskan jalannya penyebaran agama di Jawa, yang telah menerima agama Hindu, Budda dan Islam tanpa peperangan atau penaklukan.
Sekaligus meyakini bahwa tidak ada agama yang berhak mengklaim sebagai pemilik sesungguhnya negeri ini.
Kita juga bisa berkaca dari masa silam mengenai keikhlasan dan toleransi.
Ini juga bisa menjelaskan mengapa salah satu komunitas Kristen Jawa tertua berada di Desa Mojowarno, dekat Jombang - Jawa Timur.
Sebuah bagian daerah yang secara tradisional sangat kuat kultur Islamnya.
Mempelajari sejarah serta menarik dengan masa kini membuat kita semakin bijak.
Semakin mencintai dan mempertahankan kebhinekaan negeri ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
Hai, saya suka blog ini banyak. Saya coba belajar bahasa indonesia. Tetapi aku bicara sedikit. Saya dari Argentina. Bye!!!
Gisele, terima kasih, Anda sudah mampir di blog ini. Saya lihat di blog Anda "Con OjO Crítico" juga banyak tentang Indonesia dalam bahasa Spanyol-Argentina. Bila Anda ijinkan, saya akan link blog Anda di blog ini, terima kasih.
Politik Tiga Jari Konglomerat Cina.
Ketidak-adilan dan kecemburuan sosial –apalagi yang melampaui batas, cepat atau lambat pasti akan melahirkan radikalisme dan anarkisme. Kasus peledakan BCA adalah radikalisme yang lahir dari kecemburuan sosial dan ketidak-adilan yang dirasakan rakyat pribumi. Boleh jadi hal itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebencian terhadap etnis Cina, yang oleh Orde Baru diperlakukan sangat, dan sangat istimewa.
Kasus Kotagede yang terjadi tahun 1945 (hal. 139), menunjukkan radikalisme akibat kecemburuan sosial yang menggunung di antara sesama etnis, mampu menghancurkan apa saja. Akibat gejolak itu, satu perkampungan yang luasnya setengah kelurahan, dihancurkan oleh massa hingga rata dengan tanah. Perkampungan itu dihuni satu keluarga besar pribumi asli Kotagede, yang ditunjuk mendirikan pegadaian swasta oleh Gubernemen Hindia Belanda.
Dengan menguasai bisnis pegadaian, keluarga yang memang sudah kaya itu menjadi lebih kaya, sehingga bisa membeli tanah-tanah di sekitar kampungnya. Untuk menjaga agar kekayaan mereka tidak jatuh ke pihak luar, maka perkawinan pun diatur antar kerabat dekat. Kampung mereka dibatasi tembok tinggi dengan sistem pengamanan khusus melalui penjaga-penjaga yang diupah. Mereka tidak mengintegrasikan diri dengan masyarakat setempat, bagai hidup makmur di pulau kemewahan di tengah-tengah kemiskinan masyarakat sekitarnya.
Setelah kekuasaan Hindia Belanda runtuh, kemudian Jepang kalah perang, dan Republik Indonesia yang masih muda belum siap mengatur aparat kepolisian untuk menegakkan tata terib, maka kecemburuan sosial yang bertahun-tahun tersimpan di relung dada warga segera meledak. Masyarakat yang marah segera menghancurkan kampung keluarga kaya raya itu rata dengan tanah.
Lebih Dahsyat
Apalagi bila ketidak-adilan dan kecemburuan sosial itu terjadi di antara dua etnis yang berbeda: Cina dan Pribumi, serta didukung kebijakan resmi penguasa, maka potensi radikal akan menimbulkan dampak jauh lebih dahsyat dari kasus Kotagede. Bahkan, peledakan BCA Oktober 1984, rasanya masih belum seberapa. Artinya, berbagai ledakan itu sama sekali tidak mampu mengusik hubungan mesra (kolusi-korupsi) pejabat amoral dengan pengusaha Cina amoral. Malah, setelah kasus peledakan terjadi, konglomerasi yang semula belum tumbuh, justru menjadi subur bagai cendawan ‘dipupuki cendana’.
Bisa dimengerti bila ada yang mengatakan bahwa kecemburuan sosial terhadap etnis Cina di Indonesia berkembang menjadi kebencian etnis. Penyebabnya, sebelum Orde Baru memposisikan etnis Cina sebagai “partner bisnis”, etnis ini juga sudah merasakan nikmatnya dimanjakan kolonial Belanda. Misalnya, di bidang ekonomi, Belanda tidak menggunakan kaum feodal pribumi untuk melaksanakan penghisapan dan pemerasan terhadap rakyat pribumi. Karena bila menempatkan pribumi, akan menumbuhkan kekuatan ekonomi yang akan dipakai untuk perlawanan terhadap Belanda. Karena itu, Belanda memilih etnis Cina sebagai perantara ekonomi antara Belanda dengan pribumi. Cina-cina itu diberi hak memegang pacht.
Kebijakan itu rupanya diadopsi rezim Orde Baru. Soeharto tidak memberikan kepada pribumi Muslim untuk berjaya di sektor ekonomi. Sebab bila kekuatan ekonomi pribumi Muslim tumbuh, dikhawatirkan akan mengganggu kelangsungan pemerintah Soeharto yang sekularis-kejawen. Dan Soeharto berhasil mempertahankan kedudukannya hingga 32 tahun dengan menginjak-injak hak dan martabat rakyat pribumi Muslim.
Secara genetis, boleh jadi etnis Cina lebih unggul dari pribumi. Sehingga mampu mengalahkan ras pribumi dengan mudah, melalui berbagai cara termasuk uang, wanita, dan sebagainya. Sebuah anekdot menunjukkan rendahnya martabat (birokrat) pribumi (halaman 32). Untuk mengalahkan ras pribumi cukup dengan tiga jari.
imagePertama, angkat jempol tinggi-tinggi, orang pribumi akan sangat senang.
Kedua, gesek-gesekkan ibu jari dengan telunjuk, mereka akan menuruti perintah kita.
Ketiga, kalau orang pribumi itu tidak sedang bersama istrinya, kita letakkan ibu jari di antara telunjuk dan jari tengah, pendeknya mereka akan sangat menurut seperti kerbau dicocok hidung.
Politik tiga jari yang dimainkan etnis Cina untuk menguasai pejabat sekular-kejawen sekaligus menguasai perekonomian nasional, nampaknya cukup efektif. Begitulah watak pemimpin yang tidak amanah yang sama sekali tidak mendasarkan diri pada syariat Allah, mereka mudah dibeli oleh siapa saja, dan menjual dengan murah rakyatnya, bahkan martabat bangsanya sendiri. Sialnya, politik tiga jari itu masih berlaku hingga kini, di kala pemimpin nasional kita sudah berada di tangan “kiai” dari ormas Islam terbesar.
Barangkali, sebagaimana firman Allah melalui Surat Al-Isra’ (17) ayat 16, bangsa Indonesia hendak dibinasakan-Nya, karena sejak awal kemerdekaan sebagian besar pemimpinnya adalah orang-orang yang cenderung berbuat kerusakan: “Bilamana Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami angkat orang-orang yang suka berbuat kerusakan menjadi pemimpin, lalu mereka berbuat durhaka di dalam negerinya sehingga negeri tersebut berhak mendapat adzab, lalu Kami hancurkan negeri tersebut sehancur-hancurnya.”
Tanda-tanda kehancuran itu sudah tampak, hutang pemerintah (belum termasuk hutang swasta) menurut laporan Bank Dunia mencapai US$ 134 miliar atau mencapai seribu triliun lebih. Dan masih akan terus bertambah. Siapa yang sanggup membayar hutang sebesar itu, sementara konglomerat yang dijadikan ujung tombak perekonomian nasional, justru ikut ngemplang, bukan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan pemasukan devisa.
Resensi buku : Kasus Peledakan BCA 1984 Menggugat Dominasi Ekonomi Etnik Cina di Indonesia.
Penulis: Rachmat Basoeki Soeropranoto
Penerbit: Fame Press, Jakarta
Edisi: Oktober 2000
Tebal: 192 halaman + xiii
Post a Comment